Muhammad Ariyanto Adhar Qhutni

''Segala sesuatu pasti bisa dihadapi,asalkan kita percaya dan yakin ''

Sahur Pertama Sendiri Tanpa Ke dua orang Tua dan Keluarga


(foto bungkus Indomie yang dimasak)


Senin 01 Agustus 2011 Pukul 02.34

Ya Alllah sedih banget dan gak enak banget bulan ramadhan kali ini jauh sama orang tua, karena hamba menuntut ilmu di Depok...
biasanya sahur udah ada di sediain.., tpi sekarang masak sendiri, ngpa2in pun sendiri :(... masak lauk cuma di temani mie goreng saja ....
tp tetep harus semangat , Allah selalu ada di dekatku :)


(foto lagi masak mie indomie)


(foto bungkus Indomie yang dimasak)


(Foto Nasi dan mie indomie yang sudah siap di santap 1)


(Foto Nasi dan mie indomie yang sudah siap di santap 2)

Ketika Hidayah Islam Merengkuh Jiwaku (Kisah Seorang Mualaf)



Ketika Hidayah Islam Merengkuh Jiwaku (Kisah Seorang Mualaf)

Namaku Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah, bukan untuk mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang mungkin ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku sendiri. Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…
Sejak kecil aku beserta kedua adikku dididik secara kristen oleh kedua orangtuaku, bahkan aku telah dibaptis ketika masih berumur 3 bulan dan saat berusia 18 tahun aku telah menjalani sidhi, yaitu pengakuan setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan iman kristen di depan jemaat gereja. Aku juga selalu membaca Alkitab dan membaca buku renungan –semacam buku kumpulan khotbah– bersama keluargaku di malam hari. Seluruh keluargaku beragama Kristen dan termasuk yang cukup taat dan aktif. Bahkan dari keluarga besar ayah, seluruhnya beragama Kristen dan sangat aktif di gereja sehingga menjadi pemuka dan pengurus gereja. Sedang dari keluarga ibu, nenekku dulunya beragama Islam, namun kemudian beralih menjadi Katholik.
Sejak kecil aku adalah anak yang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang aku anut saat itu beserta keluarga besarku. Kecintaanku pada agama Kristen demikian kuat mengakar dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhanku menjadi wanita dewasa. Sedari kecil aku sangat rajin ikut Sekolah Minggu, bahkan hampir tidak pernah absen. Aku selalu ingin mendengarkan cerita agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu. Setiap pelajaran Sekolah Minggu kucatat dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita tersebut kuhafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan Natal aku selalu menjadi juara lomba cerdas tangkas Sekolah Minggu. Pernah suatu ketika, karena aku sering sekali menang, seorang juri memberikan tes tersendiri. Hal ini untuk memastikan bahwa aku layak mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu aku masih lebih muda dari peserta dan juara lainnya. Ternyata aku bisa menjawab pertanyaan juri tersebut. Akhirnya aku tetap mendapatkan hadiah, namun hadiah khusus di luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan pada peserta lain untuk menjadi pemenang.
Ketika aku menginjak usia SMP dan SMA, aku tetap aktif dalam kegiatan persekutuan remaja dan pemuda di sekolah. Aku juga aktif di tingkat yang lebih besar yaitu kegiatan persekutuan antar siswa Kristen dari sekolah-sekolah se-kota Magelang, juga persekutuan remaja di gereja. Bahkan aku juga ditunjuk menjadi ketua persekutuan remaja di gereja. Setiap minggu aku disibukkan dengan kegiatan persekutuan, mempersiapkan acara, topik, pembicara, membuat undangan dan menyebar undangan. Aku tidak pernah bosan mengundang rekan-rekan untuk hadir. Walaupun aku tahu ada di antara mereka yang malas hadir, aku tetap memberikan undangan kepada mereka. Betapa semangatnya aku saat itu…
Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen). Kali ini aku mengikuti kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi pemahaman kitab dan lainnya.
Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”. Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran Kristen.
Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman. Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin berbicara dengannya.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan dia –sebut saja A– yang alhamdulillah kini telah menjadi suamiku. Kalau teman-teman lain ingin memperkenalkan Islam dengan cara langsung dengan Al-Qur’an dan hal-hal lainnya yang jelas-jelas berbau Islam, maka A mengenalkan Islam dari sisi yang beraroma Kristen. Dan aku sangat antusias saat itu. Apalagi ia menyatakan bahwa jika Kristen lebih benar dari Islam, maka dia akan mengikuti agama Kristen. Kesempatan emas! Pikirku. A juga banyak bertanya tentang Bible, bahkan ia katakan telah tamat membaca Alkitab Perjanjian Baru sebanyak tiga kali! Aku pikir, orang ini benar-benar tertarik akan agama Kristen. Aku saja belum pernah membaca dari awal hingga akhir kitab tersebut secara berurutan. Aku semakin bersemangat saat itu. Banyak yang dia ketahui tentang Alkitab Kristen dan tentang Kristen. Ternyata sejak kecil ia bersekolah di sekolah Katholik dan mempelajari agama Katholik serta sejarahnya, dan ketika ia kuliah di UGM, ia juga terkadang berkunjung ke toko buku Kristen untuk membaca.
Namun, yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaanku. A memang banyak tahu tentang agamaku, namun ia juga memiliki pengetahuan tentang Islam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan berkaitan dengan agamaku, yang terkadang pertanyaan itu begitu mudah, namun aku sangat kesulitan menjawabnya. Diskusi-diskusi yang kami lakukan membuat kami menjadi dekat. Aku pun telah lulus kuliah dan bekerja. Begitu pula A, hanya saja dia bekerja di Jakarta. Namun, kami masih terus melanjutkan diskusi tentang agama Kristen yang telah kami lakukan sebelumnya. Ya… masih berlanjut seperti itu, pengenalan tentang agama Islam yang dilakukan dengan cara tidak langsung.
Dari diskusi-diskusi itulah ia terkadang memasukkan sentilan Islam secara tidak langsung dan tidak aku sadari (karena pertanyaan dan hal-hal yang didiskusikan sebenarnya telah jelas jawabannya di Islam). Banyak bentrok di antara kami dalam diskusi tersebut. Kadang bahkan membuat aku marah, menangis, jengkel. Namun diskusi itu terus berlanjut. Masih ada rasa penasaran, jengkel dan marah yang berbaur menjadi satu. Namun… banyak sekali pertanyaan darinya yang tidak bisa aku jawab. Akhirnya A mengusulkan agar meminta pendeta yang ahli untuk diajak diskusi bersama. Wah!! Betapa senangnya aku mendengar sarannya itu. Orang ini benar-benar bersemangat belajar Kristen. Aku sangat berharap akhirnya nanti dia bisa beragama Kristen. Rasanya bahagia jika aku berhasil membuat ia mengikuti iman Kristen.
Dengan sebab tersebut, aku mencari dan menghubungi pendeta yang terkenal, senior dan sangat berkualitas di Jogja. Sebut saja pendeta X. Aku berharap pendeta X dapat membantuku ‘memberi pelajaran’ tentang Kristen kepada A. Keluargaku pun ikut bersemangat dan sangat mendukung rencanaku ini. Saat itu, aku bersyukur bapak pendeta ini mau dan bersedia membantu rencanaku. Akhirnya, kami melakukan diskusi bertiga. Keadaannya saat itu, bukanlah sebagaimana seseorang yang ingin saling berdebat antar agama. Tidak. Kondisi saat itu, baik A maupun aku sama-sama sebagai orang yang belajar dan mencari kebenaran. Walaupun tidak ada pernyataan sebagaimana yang A lakukan bahwa jika Islam lebih benar aku akan mengikuti agamanya.
Mulailah kami berdiskusi setiap pekan di hari Sabtu. Beberapa pertanyaan yang A ajukan antara lain adalah:
Kapan dan bagaimana cara Yesus berpuasa? Mengapa orang Kristen tidak berpuasa?
Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).
Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan bagaimana orang Kristen berdoa saat ini? Dahulu, orang Yahudi termasuk Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab, orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan (Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.
Mengapa orang Kristen tidak mengenal najis? Padahal hal najis di Taurat lebih berat daripada hukum Islam. Pendeta menjawab, dalam Kristen hal itu tidak perlu karena di dalam tubuh kita juga ada najis.
Apakah surga itu bertingkat-tingkat menurut Kristen?
Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”
Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?”
Terdapat ramalan dalam Alkitab tentang kedatangan anak manusia ‘Ia akan berada di perut bumi tiga hari tiga malam’ seperti kejadian nabi Yunus di dalam perut ikan. Siapakah dia?
Pendeta menjawab, “Jelas ramalan untuk Yesus setelah kematian di kayu salib dan dikubur di gua.”
Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan berikutnya.
Saat kami datang pekan berikutnya, pendeta sudah memiliki jawaban, yaitu perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan kita.
Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta. Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.
Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru kepada pendeta tersebut.
Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau. Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan. Dan jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami, dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus. Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar keraguanku akan iman Kristen.
***
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X. Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-. Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku,
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).”
Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini (Kristen).
Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap terus membaca Alkitab Kristen.
Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan, ”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah… akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.
Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).
Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama Kristen yang aku anut dahulu.
***
Kisah di atas diceritakan langsung oleh Erlina kepada redaksi Muslimah.or.id, dan redaksi KisahMuslim.com juga mengenal Erlina. Semoga Allah menjaga hamba-hamba-Nya yang beriman…
Artikel KisahMuslim.com
http://kisahmuslim.com/mualaf-masuk-islam/

Fikih Puasa Berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits



Fikih Puasa Berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits


Oleh Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary

Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
* Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلًا كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
* Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan.
Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
* Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
* Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuriwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala.
* Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
* Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
* Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
* Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
* Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajibanqodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
* Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحْرِ
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
* Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabitradhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
* Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
* Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallambersabda :
نِعْمَ سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
* Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
* Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabishollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di tangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
* Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
* Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
* Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
* Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhuriwayat Al-Bukhary :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya, -pent.).”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ, إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ
“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
* Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka. Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّيْ أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk Berpuasa.
* Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamahradhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلََيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُوَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
* Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
* Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صُلَاةٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
َوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
* Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
* Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
* Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
* Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
* Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
* Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
* Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ مَالَمْ يُدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
* Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
* Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah.
Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Telah berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.”
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary :
احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
* Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِيْ رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِيْ نَهَاهُ شَابٌّ
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”
* Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُوَاصِلُوْا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحْرَ
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
* Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya.
Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullahshollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
* Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
* Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
* Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah denga tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
* Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
* Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
* Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan malampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu :
ثُمَّ أَتمُِّوْا الصِّيَامَ إِلَى اْللِيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنُ هَاهُنِا وَأَدْبَرَ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَائِمُ
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
* Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh RasulullahShollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu ‘anhuriwayat Al-Bukhari dan Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِراً مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ, لِأَنَّ اْليَهُوْدَ وَاْلنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
* Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى ثَمَراتٍ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
* Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
* Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu ‘Anhu riwayat Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih RasulullahShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أًجْرِ الصَّائِمِ شَيءٌ
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
* Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍفَرَأَى رَجُلاً قَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ: مَالَهُ قَالُوْا: رَجُلٌ صَائِمٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَ اْلبِرِّ أَنْ تَصُوْمَ فِيْ السَّفَرِ
“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari’at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam, beliau berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ النَّاسَ فِيْ سَفَرِهِ عَامَ الْفَتْحِ بِاْلفِطْرِ وَقَالَ تَقَوُّوْا لِعَدُوِّكُمْ وَصَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ بِاْلعَرْجِ يُصِبُ عَلَى رَأسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطْشِ أَوْمِنْ الْحَرِّ
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin ‘Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
خَرَجْنَا مَعَ رَسَوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ حَرٍّ شَدِيْدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحِرِّ وَمَا فِيْنَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ عَبْدُاللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”
Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untukmengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.
* Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
* Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تُصَمْ
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu ‘Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
بَيْنَمَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعَةٌ فِيْ قَمِيْصَةِ إِذْ حَضَتْ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضِيْ فَقَالَ أَنَفِسْتِ فَقُلْتُ نَعَمْ فَدَعَانِيْ فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِيْ الْخَمِيْلَةِ
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: “apakah kamu nifas,” maka saya menjawab : “Ya.” Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.”
Pertanyaan beliau : “Apakah kamu nifas” padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
* Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
* Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqodan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam suratAl-Baqarah 184.
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مِسْكِيْنِ
Berkata Ibnu ‘Abbas :
رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزِ اْلكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءا أَوْيُطْعِمَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ هَذِهِ اْلآيَةِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزُ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لاَ يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنٍَا
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
* Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :

1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.

Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

* Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.

* Muntah dengan Sengaja

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)

* Makan dan Minum Dengan Sengaja.

Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.[1]
Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
* Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
* Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah.
* Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
* Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkanqadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
* Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho`puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk meng-qodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
* Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:

* Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
* Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohihmenjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا أَوْ يُطْعِمَا كَلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ هَذِهِ الْآيَةِ فَمْنَ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)

* Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.

Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
لَا يُرَخَّصُ فِيْ هَذَا إِلَّا لِلَّذِيْ لَا يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيْضٌ لَا يُشْفَى
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
* Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
* Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
* Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
* Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
* Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
* Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
* Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:

* Melakukan hubungan suami istri.
* Melakukannya di siang hari Ramadhan.

Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnyakaffarah.

* Dalam keadaan berpuasa.

Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
* Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakankaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
* Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jeniskaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :

1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.

* Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
* Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ : وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ فِيْ رَمَضَانَ (وَأَنَا صَائِمٌ) قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سَتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَاذَا قَالَ أَفْقَرُ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}[2].” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
* Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.
Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
* Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
* Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur
Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullahshollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
* Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
* Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`
Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
* Anggapan tidak bolehnya menelan ludah
Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.
* Mengakhirkan buka puasa
Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.
* Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
* Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
* Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
* Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam
[1] Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.
[2] Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Sumber:
http://an-nashihah.com/?p=99
http://an-nashihah.com/?p=105
Judul Asli: Panduan Puasa Ramadhan di Bawah Naungan Al-Quran dan As-Sunnah

Hukum Puasa Bagi Wanita Hamil, Perselisihan Ulama dan Pendapat Terkuat Tentangnya



Hukum Puasa Bagi Wanita Hamil, Perselisihan Ulama dan Pendapat Terkuat Tentangnya


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[1]

Perselisihan Ulama

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[2]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3]

Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [4]

Dalam riwayat Abu Daud,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا - قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا - أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”[5] beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).”[6]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu 'Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,

أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”[7]

Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,

كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[8] [9]

Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’

Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[10]

Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

"الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض ، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر ، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك ، كالمريض ، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ، وهو قول ضعيف مرجوح ، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض ؛ لقول الله عز وجل : ( فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) البقرة/184" اهـ

“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]

Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,

فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”[14]
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,

وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,

ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى - والله أعلم - ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]

Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,

فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[17]
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,

فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.”[18]

Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)[19]. Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al Akwa’[20].
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,

حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,

هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”[23]
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]

Penutup

Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[25]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”[26]
Semoga Allah memberi ilmu yang bermanfaat dari sajian kami ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tentang permasalahan qodho' puasa, kami sarankan untuk membaca artikel berikut di sini.
Baca pula tentang:
1. Sanggahan mengenai riwayat Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar di Kangaswad.
2. Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin di sini.

Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 5 Rajab 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com


[1] HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[2] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.
[3] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18
[5] QS. Al Baqarah: 184.
[6] HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj, 2/102.
[7] Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[8] Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20. Sanadnya shahih
[9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127)
[10] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[11] Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[12] Pernah menjabat sebagai ketua komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’).
[13] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[14] Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, 5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.
[15] Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.
[16] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.
[17] Al Muhalla, 6/264
[18] Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/8423
[19] Lihat Adhwaul Bayan, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, hal. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.
[20] Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa ‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.
[21] Demikianlah maksud yuthowwaquunahu yaitu orang yang dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[22] HR. Bukhari no. 4505, Bab firman Allah “Ayyamam Ma’duudaat ...”
[23] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.
[24] Keterangan dari Salman bin Fahd Al Audah dalam forum www.ahlalhdeeth.com , tertanggal 15/9/1423
[25] Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al Khatib, hal. 46, Qiblatuna.
[26] Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.

Pages

my foto

my foto

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Clock

My Playlist