Muhammad Ariyanto Adhar Qhutni

''Segala sesuatu pasti bisa dihadapi,asalkan kita percaya dan yakin ''

Sejarah Sembilan Wali / Walisongo (wali9)


Sejarah Sembilan Wali / Walisongo (wali9)

Kamis 18 Agustus 2011, Pukul:11.13

“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n

Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n

Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n

Sunan Bonang (4)

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n

Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n

Sunan Gunung Jati (6)

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun

Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.

Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n

Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n

Sunan Muria (9)

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9

Buka Puasa Bareng Sama Anak Sepatoe Bodhol


Minggu, 14 Agustus 2011, pukul:16.50

serasa nostalgia ketemu bareng anak2 ipa 1 .. asyk banget bisa kumpul bareng lagi,
walaupun baru sebentar berpisah, tapi serasa sudah lama gak ketemu ...
kumpul di acara miladnya : Husnul,diah,trio,cica,yessita,ega...
serunya lagi ada terawih berjamaah ...uh .. seru banget ...:)
i like it..:)


(foto Bolu Milad Husnul,diah,trio,cica,yessita,ega...)


(foto Tempat buka bersam bareng)



(foto makanan bukber)


(foto tajil buah melon)


(foto tajil puding)


(foto lauk berkedel)


(foto bareng-bareng sebelum buber di mulai)


(foto bareng-bareng sebelum buber di mulai)


(foto shalat tarawih bersama)


(foto shalat tarawih bersama)


(foto bareng-bareng selesai buber)

Aku Sudah Berobat dan Berdoa Tapi Belum Sembuh Juga

Aku Sudah Berobat dan Berdoa Tapi Belum Sembuh Juga
Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.50

Nasehat ini beliau sampaikan saat bertemu dengan orang-orang yang sakit dan meminta nasehat pada beliau.

Pertanyaan: Wahai Asy-Syaikh saya diuji dengan suatu penyakit dan telah berusaha mencari kesembuhan tapi belum mendapatkannya. Apa nasehat Syaikh untuk saya?

Jawab: Berkata Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah ta’ala:

Nasehat saya bagi teruji dengan suatu penyakit:

Bahwa orang yang sakit sangat butuh untuk mengetahui sebab-sebab yang mendatangkan kesembuhan, maka tidak cukup engkau menginginkan kesembuhan namun tidak berusaha keras mencari kesembuhan. Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala tidaklah menimpakan kepada kita penyakit kecuali untuk memberikan kesembuhan pada kita, tidaklah Allah Ta’ala memberikan rasa takut pada kita kecuali untuk memberikan keamanan pada kita. Karena Allah Ta’ala adalah Maha Penyayang, Maha Pemurah, dan Maha Bijaksana, mengatur hamba-Nya dengan aturan-Nya yang terbaik. Maka siapa yang bersama Allah maka Allah Ta’ala akan bersamanya, siapa yang bertawakal kepada-Nya Dialah yang akan mencukupi. Siapa yang hidup dengan selalu berhubungan dengan Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakannya. Maka hati-hatilah dari rasa putus asa, lalu mengatakan aku telah berobat tapi tidak datang pula kesembuhan, aku telah berdo’a tapi tidak dikabulkan.

Wahai hamba Allah ingatlah sesungguhnya kekurangan itu ada pada kita, jika kita telah memperbaiki hubungan antara kita dengan Allah Ta’ala maka bergembiralah. Para ulama berkata: “Tidaklah datang suatu musibah kecuali disebabkan karena dosa dan tidaklah diangkat kecuali dengan sebab taubat.” Maka siapa yang menginginkan kesehatan kalbu, kesehatan badan, kesehatan akal dan sebagainya maka akan tercapai dengan taubat kepada Allah Ta’ala. Dan taubat kepada-Nya bisa terwujud dengan kembali kepada-Nya setelah lalai, setelah banyak main-main, setelah menentang, atau setelah berpaling dari syari’atnya. Maka setiap kita butuh untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah Ta’ala, siapa yang telah memperbaikinya maka bergembiralah dengan apa yang di sisi Allah Ta’ala karena Allah Ta’ala maha mampu akan segala sesuatu, kebaikan semuanya ada di tangan-Nya dan semua urusan kembali kepada-Nya.

Maka yang dituntut adalah mengoreksi dosa-dosa kita, karena dosa kita itu lebih bahaya dari pada rudal jelajah dan lebih bahaya dari tank. Berapa banyak orang yang melakukan dosa namun dia banyak tertawa. Allah Ta’ala berfirman,
فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka tidaklah merasa aman dari makar Allah kecuali orang yang merugi.”

Seorang mukmin jika telah melakukan kesalahan maka tidak aman dari hukuman (dan hukuman bisa berupa suatu penyakit). Saya sebutkan sebuah contoh tentang seorang Nabi Allah Ta’ala yaitu Nabi Yunus ‘alaihi salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Dan ingatlah kisah Dzun Nun (Yunus) yang pergi dalam keadaan marah lalu menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya, maka dia berdoa dalam kegelapan: “Bahwa tiada ilah yang benar kecuali Allah, sungguh aku termasuk orang yang zhalim”. (Ini adalah taubat NabiYunus ‘alaihi salam maka), “Maka kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya: 87-88)

Inilah penghormatan ilahy bagi yang bertaubat, dikabulkan doanya dan diselamatkan dari musibahnya, yang mana tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah Ta’ala. Maka janganlah putus asa dari berdoa memohon kesehatan, tapi jika doa tidak kunjung dikabulkan maka kembali koreksilah dirimu, periksa dosa-dosamu.

Saya tunjukan suatu perkara pada kalian yang jika kalian melakukannya maka akan datng kesembuhan insyaallah. Perkara itu adalah hendaknya engkau bangun dan shalat di sepertiga malam terakhir, engkau menyeru Rabbamu dan sujud tersungkur di hadapan-Nya, karena Allah Ta’ala itu maha baik dan maha penyayang. Karena Allah Ta’ala turun ke langit dua pada saat sepertiga malam terakhir sembari berfirman: “Apakah ada orang yang berdoa sehingga Aku mengabulkannya, apakah ada orang yang meminta sehingga Aku memberinya, apakah ada yang meminta ampun sehingga aku mengampuninya.” Betapa Allah Ta’ala memuliakan kita dengan kemurahan-Nya. Inilah waktu yang tepat untuk berdoa sehingga segera dikabulkan. Maka sadarkanlah kalbu kalian, jangan menjadi orang yaang banyak berleha-leha, lalai dan banyak main-main. Jika kita berlambat-lambat maka kitalah yang akan terlambat, bukannya kita ditinggal tapi kita sendirilah yang membuat kita terlambat meraih anugerah Allah Ta’ala yang sangat luas. Wallahu ‘alam bishawab.

Diterjemahkan oleh

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman
Sumber : http://thalibmakbar.wordpress.com

Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi

Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi
Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.37

Mukadimah

Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.

Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.

Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.

Manfaat Menikah


Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :


1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum

muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya.

2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.

3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)

4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).

5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.

6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.

7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.

Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah.

Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)”.

Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman:

“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)

Khitbah (Meminang)

Rasulullah bersabda:

“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam hadits lain:

“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)

Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.

Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.

Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).

Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).

Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.

Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)

Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa

‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan

wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.

Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.

Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).

Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.

Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.

Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.

Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya

Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut :

“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).

Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).

Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:


1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.

2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.

3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima nikahnya”.

Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.

Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)

Dan firman-Nya yang lain:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)

Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).

Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:

1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki anda” padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.

2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:

“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.

3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali

dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)

dan ayat-ayat yang lainnya.

Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.

4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).

Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.

Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin

(belakangan)”.

Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)

Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﱂﻭﺃ_ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri.

Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah

“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).

Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.

Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah.

Allah berfirman:

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)

“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)

Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.

Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:


1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).

Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman”

2. Yang mengundang adalah seorang muslim

3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.

4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.

5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara walimah sekarang.

Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).

Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)

Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).

Sumber : http://atsarussalaf.wordpress.com

Waktu dan Tempat Menghafal Ilmu

Waktu dan Tempat Menghafal Ilmu
Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.33

Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkan sisa umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.
Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.
Waktu terbaik untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal pagi.
Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.
Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.



Al-Khathib rahimahullahu berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.”
Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”
Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi kosongnya hati.”


(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullahu, hal. 72-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=875

Mari, Shalat Berjama’ah!

Mari, Shalat Berjama’ah!
Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.24

Para pembaca rahimakumulloh, shalat lima waktu merupakan salah satu syi’ar Islam yang sangat agung lagi mulia. Bahkan termasuk salah satu rukun dari rukun Islam yang lima. Begitu tinggi kedudukan shalat dalam Islam sehingga ketika Allah ‘azza wa jalla menurunkan perintah shalat tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Turunnya perintah shalat lima waktu tidak melalui perantara malaikat Jibril ‘alaihis salaam, akan tetapi disampaikan secara langsung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Sidratil Muntaha dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Semua ini menunjukkan tingginya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam.

Para pembaca rahimakumulloh, bagi kita kaum lelaki diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, bahkan perintah agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya):

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Banyak dari kalangan para ulama yang berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Saya tidak memberi keringanan bagi orang yang mampu untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah untuk meninggalkannya tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ibnul Mundzir.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Al-Imam As-Sa’di rahimahulloh juga mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas: “Maksudnya: Shalatlah bersama orang-orang yang shalat, maka di dalam ayat ini terkandung perintah shalat dengan berjama’ah dan wajibnya.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Para pembaca rahimakumulloh, terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang hukum shalat berjama’ah, yang penting untuk dipahami adalah bahwa perintah untuk melaksanakan shalat dengan berjama’ah adalah langsung dari Allah ‘azza wa jalla dan juga telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta kaum kaum muslimin yang mengikuti jejak mereka sampai masa kini.

Para ulama yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan) mereka tidak pernah meninggalkannya tanpa ‘udzur dan tetap melaksanakannya secara berjama’ah, karena mereka paham bahwa hukum sunnah untuk dilaksanakan bukan untuk ditinggalkan apalagi sunnah mu’akkadah. Bahkan yang berpendapat sunnah mu’akkadah juga menyatakan: “Barangsiapa yang terbiasa meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at), maka wajib baginya untuk dikenai hukuman.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi)

Oleh karena itu, mari! kita tingkatkan semangat untuk melaksanakan shalat lima waktu dengan cara berjama’ah di masjid, karena itu merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita bisa meraih keutamaan-keutamannya dan terhindar dari ancaman-ancaman bagi yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa ‘udzur.

Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di Masjid

Berikut ini beberapa keutamaan bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah lima waktu di masjid, diantaranya:

1. Mendapat naungan dari Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ …

“Tujuh orang yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (hari kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, ….” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid’ dalam hadits di atas adalah seorang muslim yang sangat cinta terhadap masjid-masjid dan senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya. (Lihat Al-Minhaj)

2. Mendapat jaminan dari Allah ‘azza wa jalla di dunia dan di akhirat


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْحَنَّةَ

“Seseorang yang pergi ke masjid, maka ia mendapat jaminan dari Allah sampai Allah mewafatkannya dan memasukkannya ke dalam Al-Jannah (surga).” (H.R. Abu Dawud no. 2494)

3. Terhapusnya dosa-dosa dan terangkatnya beberapa derajat

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa, dan mengangkat dengannya berapa derajat? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan susah (sulit), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, karena demikian itulah yang dinamakan Ribath.” (H.R. Muslim no. 251)

4. Mendapat balasan seperti haji

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الحاَجِّ المُحْرِمِ

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang berihram.” (H.R. Abu Dawud no. 554)

5. Mendapat cahaya sempurna pada hari kiamat


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan malam menuju masjid, dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (H.R. Abu Dawud no. 561)

6. Disediakan baginya Al-Jannah


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَدَا إِِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي اْلجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ

“Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi atau petang, Allah ‘azza wa jalla akan menyediakan tempat baginya di Al-Jannah (Surga, red) setiap ia pergi di waktu pagi maupun petang.” (Muttafaqun ‘alaihi)

7. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

“Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan memperoleh dua puluh lima derajat (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh)”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Ancaman Terhadap Orang Yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya mengancam orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid tanpa adanya ‘udzur (alasan yang dibenarkan oleh syari’at). Ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dijadikan dalil bagi yang berpendapat wajibnya shalat berjama’ah. Diantara ancaman-ancaman dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

1. Hatinya tertutup dari rahmat Allah ‘azza wa jalla

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah atau (jika tidak) pasti Allah ‘azza wa jalla benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai.” (H.R. Ibnu Majah no. 794)

2. Enggan shalat berjama’ah menyerupai perbuatan orang-orang munafik


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa diantara sifat-sifat orang munafik adalah enggan melaksanakan shalat berjama’ah, sebagaimana dalam sabdanya:

“Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh, red) dan isya’.” (H.R. Al-Bukhari no. 657)

3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjama’ah


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintahkan untuk dikumandangkan adzan, lalu aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (H.R. Al-Bukhari no. 644)

Begitu kerasnya ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang enggan melaksanakan shalat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim tidak menghadiri shalat berjama’ah lima waktu di masjid.

Para pembaca rahimakumulloh, ketahuilah bahwa yang diperintahkan untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki saja. Sehingga tidak selayaknya bagi seorang muslim laki-laki yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla meremehkan perihal shalat berjama’ah di masjid.

Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk mendatangi masjid-masjid (dalam rangka melaksanakan shalat berjama’ah), akan tetapi shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

Al-Imam Al-’Azhim Abadi rahimahulloh menjelaskan kalimat

وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌُ لَهُنَّ

“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”

Maksudnya shalat mereka di rumah-rumah mereka itu lebih baik daripada shalat mereka di masjid jika mereka mengetahuinya. Namun karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka meminta untuk pergi ke masjid dan meyakini bahwa pahalanya lebih besar.

Mengapa shalat mereka di rumahnya lebih utama? Karena yang demikian lebih aman dari fitnah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud)

Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati saudara-saudara kita yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh saudara-saudara kita yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/mari-shalat-berjama’ah

Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa

Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa

Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.16

Alhamdulilllah, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam ini. Dialah Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dia pulalah Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui bahwa para hamba-Nya lemah sangat butuh terhadap pertolongan. Oleh karena itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60)

Para pembaca rahimakumullah, dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.

Para pembaca, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Oleh karena itu, pada edisi kali ini, kami akan menjelaskan beberapa waktu-waktu mustajab tersebut sebagai pelengkap dua edisi sebelumnya (5/II/VII/1430 dan 15/IV/VIII/1431) tentang adab dan syarat-syarat dalam berdoa. Semoga bermanfaat.

Di antara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Malam (lailatul) Qadar

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah (doa):
« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ».

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):

“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .

“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Di akhir shalat fardhu

Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ »

“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:

“(( وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”

Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di ((دُبُر الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَات)), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di ((دُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)

4. Antara adzan dan iqamah

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ ».

“Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)

5. Satu waktu di malam hari

Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».

“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)

6. Ketika terbangun di waktu malam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Kemudian mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)

7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur

Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra)

8. Suatu waktu pada hari Jum’at

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:
« إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَهِّدُهَا».

“Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)

Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379)

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)

9. Ketika sujud

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».

“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim)

10. Doa pada hari Arafah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ».

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)

Penutup

Para pembaca rahimakumullah, doa adalah termasuk ibadah. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan agama.

Wallahu a’lam bishshowab.

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/waktu-waktu-mustajab-untuk-berdoa

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG

Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.13

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG


Allah Ta'ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya mengetahuinya dari mereka . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja . (QS.An-Nisaa:83)

Berkata As'Sa'di rahimahullah:

"Dalam ayat ini terdapat dalil berupa satu kaedah adab yaitu jika terjadi satu pembahasan dalam satu perkara , sepantasnya diserahkan kepada orang yang memiliki keahlian dalam perkara tersebut, jangan mendahului mereka, sebab hal itu lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga terdapat larangan dari sikap terburu-buru untuk menyebarkan berita tentang sesuatu pada saat dia mendengarkannya, dan ia diperintahkan untuk memperhatikannya sebelum dia mengucapkan dan memandangnya, apakah ini merupakan kemaslahatan sehingga seseorang boleh melakukannya ataukah dia harus menahan diri darinya?"

(Taisir al-kariim ar-rahman: 190)

Ada sebagian manusia yang merendahkan ilmu dan para ulama sehingga dia tidak mengetahui kadar ilmu dan hak para ulama, dia menyangka bahwa ilmu adalah memperbanyak ucapan, menghiasi ucapannya dengan berbagai kisah, syair2, dan memperbanyak pembahasan nasehat dan masalah hati. Diantara manusia ada yang menyangka bahwa ulama adalah tokoh-tokoh yang menyibukkan diri dalam berbagai kejadian, lalu membahasnya dengan apa yang mereka sebut "fiqhul waqi'" untuk membuat perlawanan kepada para penguasa dengan tanpa bimbingan dan ilmu. Diantara manusia ada yang menganggap bahwa ilmu hanyalah ada di dalam kitab-kitab, dia tidak memperhatikan hakekat bahwa ilmu adalah penukilan dan pemahaman,dan pemahaman tersebut dinilai berdasarkan apa yang difahami oleh generasi awal dari kalangan para sahabat, tabi'in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Sehingga diapun meninggalkan kesibukan menuntut ilmu dan duduk di halaqah ilmu dan para ulama.Dia tidak mengetahui bahwa diantara ilmu ada beberapa pintu yang dia tidak akan meraihnya kecuali dengan berhadapan langsung dengan para ulama dan mengambilnya dari mereka."



Sifat seorang alim adalah yang terpenuhi beberapa perkara berikut:

1-berilmu tentang al-kitab dan as-sunnah

2- mengikuti apa yang terdapat dalam al-kitab dan as-sunnah

3- mengikat pemahaman terhadap al-kitab dan as-sunnah dengan pemahaman salafus saleh

4- komitmen diatas ketaatan dan jauh dari perbuatan kefasikan, kemaksiatan dan dosa.

5- jauh dari perbuata bid'ah, kesesatan, dan kebodohan, dan memperingatkan darinya.

6- mengembalikan perkara yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas dan gamblang) dan tidak mengikuti mutasyabih.

7- tunduk kepada perintah Allah

8- mereka memiliki keahlian dalam istinbat ( mengeluarkan faedah dari dalil) dan pemahaman yang baik."

(Lihat: mu'malatul 'Ulama: 11-28, karya Muhammad Bazemul)



Berkata Ibnu Sahman dalam "minhaj ahlil ittiba':24:

العجب كل العجب ممن يصغي ويأخذ بأقوال أناس ليسوا بعلماء ولا قرؤوا على أحد من المشايخ فيحسنون الظن بهم فيما يقولونه وينقلونه ويسيئون الظن بهم بمشايخ أهل الإسلام وعلماءهم الذين هم أعلم منهم بكلام أهل العلم وليس لهم غرض في الناس إلا هدايتهم وإرشادهم إلى الحق الذي كان عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وأصحابه وسلف الأمة وأئمتها

أما هؤلاء المتعالمون الجهال فكثير منهم خصوصا من لم يتخرج على العلماء منهم وإن دعوا الناس إلى الحق ف‘نما يدعون إلى أنفسهم ليصرفوا وجوه الناس إليهم طلبا للجاه والشرف والترؤس على الناس فإذا سئلوا أفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا

"Sungguh mengherankan orang yang menyimak dan mengambil pendapat sebagian orang yang mereka bukanlah ulama, dan tidak pernah membaca kepada seseorang dari para syaikh , lalu dia berbaik sangka kepadanya terhadap apa yang mereka katakan dan yang mereka nukilkan, lalu mereka berburuk sangka kepada para syaikh kaum muslimin dan ulamanya yang mereka lebih mengerti tentang ucapan para ulama, dan mereka tidak punya tujuan tertentu selain membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran yang telah dijalan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan para pendahulu umat ini dan para imamnya. Adapun mereka yang sok menjadi alim padahal mereka jahil, kebanyakan mereka -lebih terkhusus lagi yang tidak pernah belajar kepada para ulama - jika mereka mengajak kepada kebenaran, pada hakekatnya mereka hanyalah mengajak kepada diri mereka sendiri untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya karena mengharapkan pangkat, kedudukan, kepemimpinan manusia, sehingga tatkala mereka ditanya,maka mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan."

Penulis: Asy Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul Hafizhahulloh

(Dari kitab: Shiyanatus salafi min waswasati Ali Al-Halabi:18- 19)
http://www.salafybpp.com

Membalas Kebaikan Orang Lain

Sabtu, 13 Agustus 2011, Pukul:17.08

Membalas Kebaikan Orang Lain



Para pembaca rahimakumullah, berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkarinya…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya.

Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.

Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)

Berbalas budi -di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat- adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi

Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.

Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pmberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib no. 963)

Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.

Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya,

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” ia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2035, cet. Al-Ma’arif)

Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak

Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Subhanallahu wa Ta’ala jika belum berterima kasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)

Hadits ini mengandung dua pengertian:

1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterima kasih terhadap kebaikan orang, biasanya ia juga mengingkari nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan tidak mensyukuri-Nya.

2. Allah Subhanallahu wa Ta’ala tidak menerima syukur hamba kepada-Nya apabila hamba tersebut tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.

Ini adalah makna ucapan Al-Imam Al-Khatthabi v seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tak terbilang?! Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18)

Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya

Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)

Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mempu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.

Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterima kasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterima kasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, ia akan diancam dengan api neraka.

Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampunan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala), karena aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”

Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)

Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya.

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Terkadang aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas diketahui bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan pergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.

Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Shahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu -yang termasuk orang Anshar-, beliau memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau lebih tua darinya. Anas radhiyallahu ‘anhu menegur Jarir radhiyallahu ‘anhu supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radhiyallahu ‘anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ia (Jarir radhiyallahu ‘anhu) bersumpah akan memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)

Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.

Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi

Disalin dari artikel dengan judul yang sama dalam majalah Asy-Syari’ah No. 66/VI/1431 H/2010 disertai sedikit perubahan redaksi.

Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/membalas-kebaikan-orang-lain

Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal

Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal


Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].

Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5].

Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]

Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].

Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].

Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA.

Artikel www.muslim.or.id

Pages

my foto

my foto

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Clock

My Playlist